[Ulasan] Novel "Selamat Tinggal" karya Tere Liye

Hai, para narablog! Kali ini saya akan mengulas sebuah novel karya salah satu penulis favorit saya, Tere Liye, yang berjudul Selamat Tinggal. Novel ini adalah novel yang kesekian (hitung sendiri saja ya :D) terbit setelah sebelumnya menerbitkan buku-buku baru yang bertajuk "Buku Anak Bergambar". Saya tidak akan memperluas pembahasan ke tajuk baru karya beliau tersebut. Saya akan fokus ke ulasan novel ini saja. Sebelumnya, bagi yang belum mengenal siapa itu Tere Liye, kalian bisa baca postingan saya berikut ini.


[Mengenal Para Penulis] Tere Liye Dengan Puluhan Karyanya


Novel ini sebenarnya sudah beberapa bulan yang lalu terbit. Namun, saya baru bisa membuat ulasannya saat ini karena urusan kehidupan. Awalnya, sih, mau langsung setelah membaca novelnya, tetapi rasa malas pun menyerang dan akhirnya draf ini terbengkalai hingga saat ini, hehe. :')


Kita tidak sempurna. Kita mungkin punya keburukan, melakukan kesalahan, bahkan berbuat jahat, menyakiti orang lain. Tapi beruntunglah yang mau berubah. Berjanji tidak melakukannya lagi, memperbaiki, dan menebus kesalahan tersebut.

Mari tutup masa lalu yang kelam, mari membuka halaman yang baru. Jangan ragu-ragu. Jangan cemas. Tinggalkanlah kebodohan dan ketidakpedulian. "Selamat Tinggal" suka berbohong, "Selamat Tinggal" kecurangan, "Selamat Tinggal" sifat-sifat buruk lainnya.

Karena sejatinya, kita tahu persis apakah kita memang benar-benar bahagia, baik, dan jujur. Sungguh "Selamat Tinggal" kepalsuan hidup.

Selamat membaca novel ini. Dan jika kamu telah tiba di halaman terakhirnya, merasa novel ini menginspirasimu, maka kabarkan kepada teman, kerabat, keluarga lainnya. Semoga inspirasinya menyebar luas.



Judul

:

Selamat Tinggal

Penulis

:

Tere Liye

Co-author

:

Sarippudin

Penerbit

:

Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit

:

November, 2020

Jumlah Halaman

:

360 hlm.

Genre

:

Fiksi sejarah, romansa, kehidupan

Harga

:

Rp85.000

ISBN

:

978-602-06478-2-1



Jika kalian mengikuti akun Facebook-nya Tere Liye, kalian akan disuguhkan oleh berbagai postingan yang mengandung kritik, opini, juga persuasi. Tidak dapat dimungkiri, banyak dari warganet yang menganggap bahwa Bang Tere ini adalah seorang motivator, pembuat quotes-quotes yang makjleb. Awalnya saya pun berpikiran begitu, tetapi setelah saya mengenal lebih jauh tentang beliau, juga melihat postingan-postingan beliau setiap harinya, saya pun berubah pikiran dan pandangan terhadap beliau. Namun, saya tidak akan curhat tentang itu di sini. Tenang.


Novel ini secara global mengisahkan tentang kehidupan seorang mahasiswa yang menginjak tahun keenam kuliah. Ia mempunyai kendala dalam menyelesaikan skripsi, meski ia menemukan bahannya. Saya cukup tertarik dengan nama tokoh ini, Sintong Tinggal. Hampir menyerupai judul bukunya, Selamat Tinggal. Entah bagaimana Bang Tere tebersit dalam pikirannya nama seperti itu. Namun, kisah dan keunikan buku ini tidak sampai situ saja.


Dalam buku ini, dikisahkan pula bagaimana Sintong menemukan sebuah buku yang ia temukan di gudang buku-buku milik pakliknya. Sebuah buku usang yang membawanya menuju perjalanan mencari keberadaan dan menelisik kisah seorang penulis besar era 60-an, yang akhirnya menjadi bahan skripsinya setelah enam tahun menjalankan studi.


Karena dalam buku ini mengandung sejarah, saya pun tertarik mencari faktanya di mesin pencari. Namun, ternyata yang saya temukan cukup berbeda. Nama penulis besar yang dikisahkan dalam buku ini adalah Sutan Pane. Di mesin pencari Google, tidak ada satu pun nama yang persis seperti itu. Uniknya, kita akan menemukan sebuah nama yang mungkin bagi sebagian kalangan, terutama mahasiswa, mengenal nama itu.


Sanusi Pane, merupakan saudara dari Lafran Pane, pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI. Ayahnya bernama Sutan Pangurabaan Pane, seorang sastrawan, penulis, dan intelektual serba bisa pada zamannya. Mengenai sejarah siapa Sutan Pangurabaan Pane, kalian tidak akan menemukan referensi atau bahan bacaan terkait. Nah, kesimpulan saya setelah penyelidikan kebenaran nama Sutan Pane dalam buku ini, tidak ada keterkaitan antara Sutan Pane dengan tokoh-tokoh tersebut tadi. Bisa dikatakan, nama tokoh Sutan Pane adalah fiksi dan karakternya pun rekaan semata.


Kembali ke isi buku. Buku ini juga mengisahkan bagaimana tokoh utama, Sintong Tinggal, memiliki perasaan pada teman SMA-nya. Lalu, ia bertemu dengan mahasiswi cantik dan ceria bernama Jess saat sedang menjaga toko buku bajakan milik pakliknya. Tentu, siapa yang tidak senang dengan kisah semacam ini. Apalagi yang menceritakannya Bang Tere. Terasa makjleb.


Namun, buku ini tidak cocok buat kalian yang suka cerita semacam itu. Ya. Sungguh. Alasannya karena buku ini tidak berfokus pada cerita romantisnya, tetapi berfokus pada sebuah isu yang sudah sekian ratus kali Tere Liye menggaungkannya. Isu tersebut adalah pembajakan buku.


Dari awal hingga akhir halaman novel ini, kita diperlihatkan bagaimana Sintong yang awalnya berjualan buku bajakan di salah satu warung milik pakliknya, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan tidak akan lagi berkecimpung dalam dunia pembajakan. Ini adalah inti dari novel ini, menurut saya. Pada bagian akhir novelnya pun, kalian akan menemukan halaman yang menjelaskan ciri-ciri buku bajakan, ciri-ciri e-book ilegal, dan imbauan.


Jadi, perlu saya sampaikan, sebelum kalian memutuskan membaca novel ini, novel ini tidak direkomendasikan bagi kalian yang hanya suka membaca kisah romantis, kalian yang cinta pertamanya ditolak, kalian yang suka membaca buku bajakan (atau yang sejenisnya), juga kalian yang tidak ada karsa mengubah diri menjadi lebih baik. Tidak.


Novel ini hanya direkomendasikan untuk kalian yang suka mendaki, kalian yang saat ini (atau sudah) menjadi mahasiswa, kalian yang skripsinya tidak selesai-selesai, kalian yang suka sejarah, kalian yang hanya membaca buku original (bukan bajakan), juga kalian yang punya karsa mengubah diri menjadi lebih baik.


Oh, ya, satu lagi. Buku ini direkomendasikan juga untuk kalian yang ingin belajar menulis atau menjadi penulis. Jadi, kalian putuskan sendiri apakah buku ini layak dibaca atau tidak. :)


KUTIPAN-KUTIPAN DALAM NOVEL SELAMAT TINGGAL


Tidak banyak kutipan-kutipan dalam novel ini yang berhasil saya tandai. Apalagi yang romantis. Nyaris tidak ada. Walaupun begitu, saya tetap menuliskan kutipan-kutipan yang ada dalam novel ini. Tentu ini kutipan-kutipan pilihan saya, ya. Masing-masing punya pilihannya sendiri.


1) "Apa susahnya menyelesaikan skripsimu, Sintong? Itu bukan seperti memindahkan gunung atau mengeringkan lautan. Itu cuma skripsi. Ada ratusan juta orang di muka bumi yang pernah menyelesaikan menulis skripsi. Itu artinya pekerjaan biasa. Kamu tulis setiap hari, lama-lama selesai juga. Ini hampir dua tahun, skripsimu bahkan tidak maju satu halaman pun." (hlm. 23)

2) "Hei, dalam hidup ini, lebih baik kita fokus ke hal-hal yang menyenangkan dibanding yang tidak." (hlm. 34)

3) "Jika kalian gadis remaja atau besok lusa punya anak gadis, bahaya sekali memang anak muda model Sintong ini. Meski usianya baru delapan belas, tulisannya maut, bagai peluru asmara mematikan bagi gadis mana pun yang membacanya. Padahal boleh jadi dia sedang mengupil saat menulis kalimat-kalimat tersebut, tapi itu tetap menghunjam di hati pembacanya." (hlm. 36)

4) "Semua tulisan itu bagus, Jess. Yang membedakan hanyalah, ada penulis yang telah berlatih lama, ada penulis yang baru memulainya. Dengan terus berlatih, siapa pun bisa menyalip penulis paling hebat sekalipun." (hlm. 70)

5) "Aku juga sering kali takut menulis, Darman. Tapi aku lebih takut lagi jika tidak bersuara. Harus ada yang menyampaikan prinsip-prinsip kebaikan. Aku juga berkali-kali gemetar saat mengetikkan tulisan, gemetar sekali. Tapi aku lebih takut jika keadilan itu tidak disampaikan. Maka biarlah aku mengetikkannya, menyampaikan suara-suara yang diam." (hlm. 86)

6) "Meskipun kepalanya sekarang dipenuhi ide tulisan, itu semua bisa menunggu besok. Tidak usah cemas ide itu menguap. Kalau pun hilang gara-gara tidur, konon katanya, dalam mimpi sekalipun, penulis masyhur bisa menemukan ide tulisan lainnya yang tak kalah menarik." (hlm. 100)

7) "Tulislah sesuatu yang harus dibaca banyak orang, bukan yang ingin dibaca orang banyak." (hlm. 121)

8) "Bahwa semua orang, terutama elite negara semestinya menyadari bahwa negara juga bisa melakukan "kriminalitas" kepada rakyatnya. Oleh karena itu, selain diperlukan kesadaran dari para elite, juga penting adanya edukasi dan peningkatan literasi politik rakyat." (hlm. 121)

9) "Ibuku pernah bilang 'bacalah banyak buku, agar besok lusa bukan hanya agar kau tidak mudah ditipu orang, tapi agar kau bisa mencegah penipu membohongi orang banyak.'" (hlm. 134)

10) "Bagiku, pena adalah kekuasaan. Saat tulisan kita dibaca banyak orang, mengubah banyak hal, itulah kekuasaan sebenarnya." (hlm. 136)

11) "Sutan Pane tahu, selalu akan ada kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan atas bangsa ini. Partai politik yang ingin berkuasa, sentimen suku, ras, agama, golongan. Sejatinya itu adalah keniscayaan karena dunia memang diciptakan dengan perbedaan. Tapi amat berbahaya saat perbedaan itu dimanfaatkan oleh segelintir orang agar bisa berkuasa. Orang-orang yang penuh pencitraan, orang yang tidak memiliki kompetensi untuk memimpin, tapi bergaya amat pantas memimpin." (hlm. 137)

12) "Tidak ada cara terbaik memahami seorang penulis selain dari keputusan-keputusan yang pernah dia buat." (hlm. 178)

13) "... kadang tidak ada korelasinya antara cepat atau lamanya seseorang menyelesaikan kuliah dengan kualitas seseorang tersebut." (hlm. 179)

14) "Kadang kala hati kita sendiri bisa mengkhianati, mengirim kesimpulan yang keliru." (hlm. 254)

15) "Tapi ketahuilah, dulu orang tua kita sering bilang, setiap kita berharap mendapatkan sesuatu, maka bersiaplah melepaskannya. Karena di dunia ini, bahkan yang sudah milik kita bisa hilang, apalagi yang belum." (hlm. 270)

16) "Bukan perasaannya yang keliru. Itu selalu benar. Tapi waktunya... datang di waktu yang keliru. Tempatnya... tumbuh di tempat yang salah. Tidak akan mekar tunasnya, apalagi berbunga. Tidak." (hlm. 294)

17) "Sungguh menyedihkan menyaksikan cinta pertama kita ternyata tertolak karena orang yang kita cintai telah memiliki cinta pertamanya lebih dulu." (hlm. 296)

18) "Di lembah Mandalawangi, ada begitu banyak pendaki yang terinspirasi. Lembah itu "mengajarkan" bagaimana memahami kehidupan ini. Lembah itu menyimpan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kehidupan. Tinggal apakah kalian mau merenungkannya atau tidak." (hlm. 325)

19) "Sungguh, jika kalian bersedia memikirkannya, kita bisa melihat kehidupan ini begitu sederhana. Tentang kejujuran. Saat kita selalu jujur, kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada alam sekitar, dan kepada Tuhan kita." (hlm. 325)

20) "Ayah saya sangat menghormati para penulis. Tanpa penulis, peradaban tidak bisa diwariskan. Kita boleh saja punya jutaan politisi, jutaan pejabat, tapi tanpa penulis, itu sungguh celaka, demikian petuah ayah saya." (hlm. 330)

21) "Hidup adalah kesesuaian antara perkataan, tulisan, dan perbuatan. Apalah arti kehormatan seorang manusia saat tiga hal tersebut bertolak belakang. Dan kita bertanggung jawab tidak hanya terhadap diri kita sendiri, tapi juga terhadap orang-orang di sekitar kita. Atasan bertanggung jawab atas anak buahnya. Orang tua bertanggung jawab atas anak-anaknya. Memastikan perkataan, tulisan, dan perbuatan itu sama." (hlm. 337)


Oke, cukup sekian ulasan mengenai novel ini. Nantikan postingan-postingan selanjutnya dari saya. Baca juga postingan-postingan saya yang lainnya, ya. Terima kasih dan semoga bermanfaat.




Komentar