[Ulasan] Si Anak Pemberani (rekover Eliana) - Tere Liye

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Hai, para narablog! Kali ini, saya akan mengulas sebuah novel berjudul Si Anak Pemberani karya penulis bernama pena Tere Liye. Kalian sudah kenal dengan penulisnya? Kalau belum, kalian bisa baca postingan saya di bawah ini.


[Mengenal Para Penulis] Tere Liye Dengan Puluhan Karyanya


Sebelum masuk ke ulasan, saya ingin menceritakan sedikit tentang novel ini. Novel ini merupakan satu dari tujuh novel bertajuk Serial Anak Nusantara. Enam novel lainnya yaitu Si Anak Kuat, Si Anak SpesialSi Anak Pintar, Si Anak Cahaya, Si Anak Badai, dan Si Anak Pelangi. Berdasarkan urutan terbitnya (setelah berganti judul dan tajuk), novel ini menempati urutan keempat, sedangkan dalam kisahnya, tokoh dalam novel ini merupakan anak pertama dari Bapak dan Mamak. Saya tidak akan menjelaskan lagi mengapa novel ini berganti judul (juga berganti tajuk). Saya juga tidak akan menyebutkan urutan terbitnya. Kalian bisa membacanya di postingan saya dengan tautan di atas.


Kalau kalian bertanya apa yang membuat saya tertarik membaca novel ini, jawaban saya sederhana: saya pertama kali membaca Si Anak Cahaya dan langsung tertarik dengan novel lainnya di tajuk yang sama. Sebelumnya, saya sudah tahu mengenai novel ini (sebelum ganti judul, dan lain-lain). Namun, saya belum pernah membacanya, apalagi tahu isinya. Sebenarnya, alasan lainnya adalah saya tidak tahu kalau novel ini justru yang terakhir terbit (setelah ganti judul). Saya agak menyesal juga karena dalam novel ini ada beberapa catatan kaki yang mengarahkan cerita ke novel lainnya. Itulah mengapa saya menyesal membaca novel ini lebih dulu.


Di samping rasa sesal saya, novel ini tidaklah buruk-buruk amat. Kisahnya cukup bagus dan di luar ekspektasi saya (terlalu sering berekspektasi :v). Saya pikir, kisahnya hanyalah bagaimana kehidupan sebuah keluarga, dan sebagainya. Namun, kalau kalian melihat kover novelnya, itu adalah petunjuk mengenai inti dari kisah dalam novel.


Oke, sepertinya sudah cukup basa-basinya. Sekarang kita masuk dalam ulasan mengenai novel yang sebenarnya sudah lama saya khatamkan, tetapi baru bisa membuat ulasannya sekarang.











TENTANG BUKU
Judul: Si Anak Pemberani
Penulis: Tere Liye
Tahun terbit: 2018
Penerbit: Republika Penerbit
Jumlah halaman: iv + 420 hlm.
Genre: Fiksi, Anak-anak & Keluarga
Harga: Rp83.000




BLURB

“Aku Eliana, si anak pemberani, anak sulung Bapak dan Mamak yang akan menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Berdiri paling gagah, paling depan.”

***

 

Buku ini tentang Eliana, si anak pemberani yang membela tanah, sungai, hutan, dan lembah kampungnya. Saat kerakusan dunia datang, Eliana bersama teman karibnya bahu-membahu melakukan perlawanan.

Dari puluhan buku Tere Liye, serial buku ini adalah mahkotanya.





ULASAN

Sudah disebutkan pada blurb di atas bahwa novel ini mengisahkan tentang seorang anak bernama Eliana. Ia dijuluki Si Anak Pemberani. Eliana merupakan anak pertama dari Bapak dan Mamak. Adik-adiknya secara berurutan bernama Burlian, Pukat, dan Amelia. Nah, pertanyaan yang muncul pertama kali dalam pikiran kita adalah, “Mengapa Eliana dijuluki dengan Si Anak Pemberani?”.


Pertanyaan tersebut akan terjawab jika kalian membaca novel ini, terutama pada bab pertama dan kedua. Sedikit bocoran kisah, Eliana pernah mendatangi rapat tertutup yang diadakan di sebuah gedung bertingkat di kota kabupaten. Bapaknya merupakan salah satu peserta rapat yang diundang. Sebenarnya, ia bersama adiknya, Amelia, berada di toko emas Koh Acan yang terletak di seberang gedung tersebut. Namun, karena mereka berdua sudah menunggu selama empat jam dan Bapak belum juga keluar, mereka pun nekat diam-diam masuk ke gedung tersebut.


Singkat cerita, Eliana tidak sengaja mendengar sayup-sayup suara Bapak dalam sebuah ruangan. Terdengar bahwa rapat tersebut membahas masalah kampung mereka. Amelia yang mendengar nama Bapaknya disebut, langsung mendobrak pintu ruangan rapat. Sontak semua peserta rapat menoleh ke arah pintu. Seorang peserta rapat bernama Johan (pemimpin rapat tersebut) menghampiri mereka. Sebenarnya, Amelia ingin meminta kepastian Bapak soal membeli seragam lungsuran karena Bapaknya sudah berjanji. Namun, Johan yang mendengar kata lungsuran pun menghina Bapak dengan ejekan halus yang juga didengar oleh Eliana. Eliana pun tidak terima dan berteriak, “JANGAN HINA BAPAKKU!”. Kejadian tersebut langsung membuat Bapak tidak senang dan menyuruh mereka keluar dari tempat itu.


Intinya, Eliana dijuluki Si Anak Pemberani karena kejadian tersebut. Kalau kalian mau tahu kisah selengkapnya, bacalah novel ini pada bab pertama dan kedua.


Secara keseluruhan, kisah novel ini cukup menginspirasi kita. Bertumpu pada masalah kerusakan alam yang terjadi akibat ulah manusia, kita disentil untuk lebih menyayangi alam. Tidak sembarangan menebang pohon, menambang, dan perbuatan lainnya yang merusak alam. Mengenai hal ini, ada satu kutipan yang diucapkan oleh tokoh bernama Paman Unus berikut.


“Ada suatu masa di antara masa-masa. Ada suatu musim di antara musim-musim. Ada saatnya alam memberikan perlawanan sendiri. Saat hutan, sungai, lembah, membalas sendiri para perusaknya.” 

Meskipun kisahnya berklimaks pada kerusakan alam, novel ini juga dihiasi dengan konflik yang dialami oleh beberapa tokoh, terutama anak-anak Bapak dan Mamak. Inilah hebatnya Tere Liye, memasukkan suatu isu ke dalam novelnya yang sebenarnya sudah basi (mungkin saat novelnya dibuat, isu tersebut masih hangat), tetapi masih segar untuk dibaca.


Beberapa isu yang dimasukkan ke dalam novel ini antara lain masalah selebaran yang membuat banyak penduduk kampung ketakutan setengah mati. Isi selebaran tersebut saya ibaratkan seperti pesan WhatsApp dari salah satu teman kita yang memerintahkan untuk membagikan pesan tersebut kepada sepuluh orang, misalkan. Kalau tidak, kita akan mendapat musibah begini, begini, begini. Kurang lebih, seperti itulah ibaratnya.


Konflik lainnya yaitu mengenai ajaran Islam bahwa seorang perempuan tidak boleh azan. Saat saya membaca bagian ini, saya tertawa dalam hati, ada-ada saja. Masalahnya sepele, karena Eliana kalah taruhan dalam sebuah permainan dengan teman laki-laki sekelasnya yang berujung pada Eliana mengumandangkan azan di masjid. Huuuh… satu kampung heboh mendengar suara azan itu. Coba bayangkan, kalau di masjid dekat rumah kita ada seorang anak perempuan yang mengumandangkan azan di masjid, apa kata pak ustaz??


Satu lagi konflik menarik dalam novel ini adalah mengenai kasih sayang seorang Mamak. Kita sebagai anak mungkin pernah memberontak dalam hati, ibu jahat; mama jahat; ibu nggak sayang sama aku; mama nggak sayang sama anak-anaknya. Konflik ini akan membuat kalian sadar bahwa kasih sayang orang tua justru lebih dari yang kalian bayangkan. Seperti nasihat orang dulu: kebaikan yang kamu berikan kepada orang tua tidak akan pernah mampu membalas kebaikan mereka kepadamu. Jujur, saya menangis membaca kisah ini, meskipun konfliknya lebih ke anak perempuan. Akan tetapi, saya sebagai anak laki-laki pun juga ikut hanyut dalam kisahnya dan benar-benar merasa tersindir.


Seluruh konflik yang ada pada novel ini memiliki hikmah yang dapat dipetik. Sekali lagi, Tere Liye benar-benar luar biasa dalam menyisipkan pelajaran dalam novel-novelnya. Inilah yang membuat saya tertarik untuk membaca novel-novelnya Bang Tere.


Tidak hanya itu saja, saya juga mulai menyukai novel karya Tere Liye karena di dalamnya selalu ada kutipan-kutipan (quotes) yang memotivasi serta menginspirasi.





KUTIPAN-KUTIPAN DALAM NOVEL SI ANAK PEMBERANI


Yap, mulai sekarang hingga seterusnya, bila saya mengulas novel karya Tere Liye, saya akan mencantumkan kutipan-kutipan yang sudah saya tandai dengan pena sorot (stabilo). Namun, tidak menutup kemungkinan juga novel-novel karya penulis lainnya akan saya cantumkan kutipan-kutipannya. Kalau ada kesamaan dalam pilihan kutipan di bawah ini, berarti kita satu selera 😁.


Langsung saja, inilah kutipan-kutipan pilihan saya yang saya tandai dengan pena sorot.


1) "Oi, suatu saat kau akan mengerti kalimat ini. Jangan pernah bersedih ketika orang-orang menilai hidup kita rendah. Jangan pernah bersedih, karena sejatinya kemuliaan tidak pernah tertukar. boleh jadi orang orang yang menghina itulah yang lebih hina. Sebaliknya, orang yang dihinalah yang lebih mulia. Kalian tidak harus selalu membalas penghinaan dengan penghinaan, bukan? Bahkan, cara terbaik menanggapi olok-olok adalah dengan biasa-biasa saja, tidak perlu marah, tidak perlu membalas." (hlm. 29)


2) "Bagus, Amel. Tulisan kau rapi. Nah, sekarang tinggal bagaimana isi bukunya juga bagus. Buku yang baik tidak pernah dilihat dari sampulnya, bukan?" (hlm. 32)


3) "Masih ingat apa yang pernah Bapak bilang, Amel? Semakin benar sebuah cerita, semakin menyangkal orang-orang. Tanyakan saja pada Mamak kau." (hlm. 37)


4) "... Sudah pernah Bapak katakan berkali-kali pada kau, dalam hidup ini tidak ada yang lebih berbahaya selain mengabaikan petuah orang tua." (hlm. 77)


5) "Nah, Burlian, Pukat, Amel, bukankah Bapak pernah berkali-kali bilang, jangan pernah takut atas hal yang kasatmata di dunia ini. Jangan pernah takut pada sesuatu yang tidak sejati. Kalian keliru jika takut pada hal-hal remeh seperti itu. Takutlah berbuat jahat, mengambil hak orang lain. Takutlah menganiaya, berbohong, mencuri, dan merendahkan harga diri. Takutlah atas hal-hal seperti itu, sesuatu yang lebih sejati. Maka kalian tidak akan pernah takut pada apa pun lagi." (hlm. 78)


6) "Nah, maka takut dan berharaplah pada zat yang paling berhak menerima rasa takut dan pengharapan. Kalian paham? Takut dan berharaplah pada tempat yang paling tepat." (hlm. 82)


7) "Sekadar tahu tentang siklus air tidak akan bermanfaat banyak bagi kalian. Hanya tahu, lantas kenapa? Hanya membuat kalian terlihat pandai saat orang-orang lain bertanya. Tidak lebih, tidak kurang. Memahami, bukan sekadar tahu, itu lebih penting..." (hlm. 92)


8) "Jangan pernah mengambil semua rebung tanpa menyisakan tunasnya untuk tumbuh lagi. Jangan pernah menebar racun atau menjulurkan kawat setrum di sungaia yang akan membuat telur dan ikan-ikan kecil juga mati. Padahal, esok lusa dari merekalah sungai akan terus dipenuhi ikan-ikan. Jangan pernah menebas umbut rotan semuanya. Kita selalu berusaha menjaga keseimbangan. Jangan pernah melewati batas atau hutan tidak lagi bersahabat." (hlm. 94)


9) "Nah, hati yang senang bisa membuat tubuh sehat. Kau setuju?" (hlm. 102)


10) "Latihan, Kawan. Matematika adalah latihan. Bukan soal pintar dan bebal. Apalagi soal mandi dan tidak mandi. Semakin terlatih kau, maka tidak ada soal yang tidak bisa kaukerjakan." (hlm. 115)


11) "Adik kau benar, Eli. Bapak tahu kau marah karena dituduh mencuri, tapi jangan sampai kebencian kau pada seseorang membuat kau berlaku tidak adil padanya. Urusan ini tidak ada hubungannya dengan rambut acak-acakan, jarang mandi, atau pakaian jelek." (hlm. 129)


12) "Bukankah Bapak dulu pernah bilang, orang yang sekarang musuhan, besok-besok bisa jadi berteman, bahkan bisa menikah?" (hlm. 131)


13) Kalimat Bapak dulu benar, dalam kehidupan kita selalu ada momen, kejadian, atau peristiwa hebat yang bisa menjadikan dua orang musuh menjadi sahabat. (hlm. 160)


14) "Kalau Burlian belum bangun, kenapa kau ada disini, Eli? Bangunkan adik kau! Suruh dia mandi. Oi, berapa kali Mamak harus mengingatkan kau. Itu tugas kau sebagai anak sulung." (hlm. 172)


15) "... Sepertinya polisi sekarang lebih melindungi siapa yang membayar mereka dibanding melindungi warga ..." (hlm. 174)


16) "... tidak ada urusan baik yang dilakukan dengan cara buruk. Bukankah bapak berkali-kali bilang, tidak selalu hal menyakitkan harus dibalas dengan rasa sakit. Itu hanya memperbesar masalahnya." (hlm. 176)


17) "Anak-anak, esok lusa ketika sudah besar, kalian akan menemukan segolongan orang yang pekerjaannya selalu merusak. Ketika dinasihati agar janganlah berbuat kerusakan, mereka dengan pintarnya menjawab, 'Kami justru sedang berbuat kebaikan. Kami membawa kesejahteraan, melakukan pembangunan.' Sejatinya merekalah perusak itu." (hlm. 184)


18) "... Apa kata bijak itu? 'Barang hilang, sungguh aneh perilakunya. Semakin dicari semakin tidak ketemu. Saat dilupakan, diikhlaskan, malah muncul sendiri di depan mata.' ..." (hlm. 193)


19) "Hari ini, semua anak remaja ingin cepat pintar. Ingin cepat besar. Ingin cepat semua. Merupakan hakikat proses belajar yang sesungguhnya. ..." (hlm. 196)


20) "Makanya lain kali simpan barang-barang tahu dengan baik. Jangan pulang sekolah lempar sana, taruh sini, sembarangan saja. Kau anak perempuan, Eli." (hlm. 200)


21) "Berapa kali coba kau rongseng mencari barang? Buku yang terselip, penggaris yang tertinggal, jepit rambut yang hilang, pensil, bolpoin, bahkan pakaian. Anak perempuan itu harus gesit, Eli. Besok lusa kau akan mengurus keluarga sendiri, anak-anak kau. Bagaimana coba kalau kau lupa di mana meletakkan anak kau sendiri?" (hlm. 200)


22) "Anak perempuan itu harus tangkas, Eli. Tangannya juga harus serajin mulutnya. Habis makan, sendok-piring dicuci. Habis menggunakan sesuatu, segera simpan dan bereskan. Menemukan sampah atau sesuatu yang tidak beres, rapikan. Ini malah sebaliknya, berserakan, malas, ditunda-tunda. Pantas saja bando kuning kau hilang, juga benda-benda lain." (hlm. 201)


23) "Oi, malas sekali aku menanggapi anak perempuan. Mulutnya bicara terus, tidak mau kalah." (hlm. 216)


24) "... Oi, di mana-mana anak laki-laki itu selalu tidak mau dikalahkan anak perempuan." (hlm. 219)


25) "Amelia benar. Jangan pernah meremehkan anak perempuan. Kau juga benar kalau laki-laki dilahirkan lebih kuat, lebih cepat. Tapi bukan berarti perempuan tidak punya kelebihan. Esok lusa, kau akan tahu, di mana-mana, di bidang apa pun, perempuan bisa terlibat dan melakukan segala hal sebaik laki-laki. Sejatinya kita memang tidak boleh saling meremehkan. Anak laki-laki tidak boleh meremehkan anak perempuan. Sebaliknya, anak perempuan tidak boleh meremehkan anak laki-laki." (hlm. 220)


26) "Eli, aku tahu kau anak pemberani. Kau tidak mau diremehkan oleh siapa pun. Apalagi oleh anak laki-laki. Tapi kita hidup dalam aturan main, Nak. Kenapa pisang harus matang setelah sekian hari di tandannya? Kenapa lebah harus membuat madu? Kenapa air mendidih jika dipanaskan? Karena mereka taat dengan aturan main yang ada. Sekuat apapun pisang menolak matang, air tidak mau mendidih, lebah menolak membuat madu, mereka harus menurut. Itu aturan alam, sunnatullah. Jika alam saja punya aturan main, punya kaidah-kaidah yang harus ditaati, apalagi dalam agama? Eli, perempuan tidak boleh adzan selama masih ada laki-laki yang pantas melakukannya. Sama halnya dengan menjadi imam shalat. Kau tidak bisa melanggarnya hanya karena ingin membuktikan perempuan bisa melakukan apa pun. Karena pemahaman kita, apalagi pemahaman kau yang masih terbatas, emosional, berbeda dengan pemahaman saat aturan itu diberikan. Kau paham, Eli?" (hlm. 230)


27) "Schat, esok lusa, saat kau besar di tengah dunia yang maju, kau akan menemukan pemahaman yang lebih rumit dibanding yang kaupahami sekarang. Feminisme, kesetaraan gender. Oi, aku bahkan tak fasih mengatakan istilah itu... sudah ada sejak dulu. Pemahaman itu kadang amat berlebihan. Esok lusa, misalnya, kau akan menemukan sekelompok orang yang sibuk menuduh sebuah agama tidak adil, menyimpulkan suatu agama berat sebelah pada perempuan. Padahal mereka lupa, di semua agama, laki-laki adalah imam. Kau tentu tahu posisi seorang paus dalam agama Katolik, bukan? Tidak pernah ada paus seorang perempuan. Sama halnya dengan agama-agama lain." (hlm. 232)


28)  "Dan soal truk-truk, percayalah pada Paman. Ada suatu masa di antara masa-masa. Ada suatu musim di antara musim-musim. Ada saatnya ketika alam memberikan perlawanan sendiri. Saat hutan, sungai, lembah, membalas sendiri para perusaknya." (hlm. 250)


29) "Tidak semua yang kalian inginkan harus terjadi seketika. Kita tidak hidup di dunia dongeng. Bahkan banyak orang di luar sana harus berjuang mati-matian untuk mewujudkan satu keinginan kecil. Bersabarlah. Jika saat ini Bapak tidak mengajak kalian, besok lusa, giliran kalian akan datang. Kalian mendengarkan?" (hlm. 254)


30) "... Hidup terkadang tidak bisa dimengerti, bukan?" (hlm. 258)


31) "Esok lusa kau akan melihat banyak hal, Eli. Mengerti banyak hal. Tidak hanya mengenal hutan dan sungai kampung kita. Esok lusa kau akan menjadi seseorang yang tangguh dan amat berbeda. Kau akan menjadi putri sulung kebanggaan Mamak kau." (hlm. 259)


34) "Kau seharusnya memperhatikan adikmu, Eli. Apa yang dia mainkan, apa yang dia lakukan, kau harus perhatikan. Itulah tugas anak sulung. Bertanggung jawab atas adik-adiknya." (hlm. 277)


35) "Sayangnya, kita tidak bisa memilih dilahirkan nomor berapa, Eli. Sama tidak bisa memilihnya siapa yang akan menjadi mamak kita, bapak kita. Semua sudah digariskan demikian. Suka tidak suka." (hlm. 279)


36) "Tidak ada ibu yang membenci anaknya, darah dagingnya sendiri." (hlm. 303)


37) "Tidak selalu yang kaupikirkan itu benar. Tidak selalu yang kausangkakan itu kebenaran. Kalau kau tidak mengerti alasan sebenarnya, bukan berarti semua jadi buruk dan salah menurut versi kau sendiri." (hlm. 303)


38) "... jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta kasih sayangnya kepada kalian. ..." (hlm. 305)


39) "... terkadang kita membutuhkan melihat langsung untuk mengerti hakikat sebuah kasih sayang. ..." (hlm. 307)


40) "... hukum itu sampah jika pihak-pihak yang terlibat di dalamnya tidak memihak pada keadilan dan kebenaran." (hlm. 363)


41) "Di seluruh dunia, di masyarakat apa pun, pemuda memegang kunci perubahan, menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk." (hlm. 381)


42) "Tidak ada yang gampang dalam sebuah perjuangan, Eli. Butuh pengorbanan dan kerja keras." (hlm. 381)




Dari kutipan-kutipan di atas, mana yang menjadi favorit kalian? Atau kalian punya kutipan favorit lainnya selain yang di atas? Tulis di kolom komentar, ya.


Oke, cukup sekian ulasan mengenai novel ini. Nantikan postingan-postingan selanjutnya mengenai sinopsis, ulasan, dan resensi suatu karya. Jangan lupa, nantikan juga postingan terbaru dalam tajuk "Mengenal Para Penulis". Terima kasih dan semoga bermanfaat.




Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.



Komentar