Contoh Penelitian Etnografi

BUDAYA PENGAJIAN WETHON DI PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM (INDUK) TAMBAKBERAS JOMBANG


Oleh: M. Rusydan Alfin Yusron B.



Kegiatan munazhoroh 


BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Pengajian wethon merupakan salah satu sistem pengajian kitab—di samping sistem pengajian sorogan—dalam metode pendidikan alternatif di Pondok Pesantren Bahrul Ulum (Induk) Tambakberas Jombang, sebagai upaya membangun karakter dan moral seorang santri serta menambah wawasan pengetahuan tentang kitab yang dikaji. Lewat media pengajian wethon inilah, santri menambah wawasan keilmuannya sebelum dipraktikkan atau diamalkan.

Setiap hari, sesuai waktunya, para santri terlihat membawa kitabnya masing-masing untuk di-maknani oleh kiai. Namun, tidak semua kitab diajarkan atau dikaji oleh kiai. Ada pula dari kalangan pengurus yang memiliki kemampuan dan dipilih untuk membantu kiai. Hal itu disebabkan jumlah santri di pondok Induk ini yang tiap tahun terus bertambah, juga menyesuaikan dengan kemampuan tiap-tiap santri. Meski begitu, para santri tetap mau mengaji demi menuntut ilmu dan ngalap barokah kiai.

Dengan keadaan pengurus yang juga membantu kiai dalam mengajarkan atau mengkaji kitab, tentu akan berbeda metode pengajarannya. Proses pengajian wethon pun juga berbeda dengan kiai, yang usianya lebih tua (sepuh). Kehadiran pengurus sebagai wakil dari kiai—yang notabene sebagai santri—dalam mengajarkan kitab inilah yang menjadi latar belakang adanya penelitian ini. Berkenaan dengan itu, penulis terinspirasi untuk melakukan penelitian dengan judul Budaya Pengajian Wethon Di Pondok Pesantren Bahrul Ulum (Induk) Tambakberas Jombang.


B. RUMUSAN MASALAH

Supaya penelitian ini tidak keluar dari tujuan serta lebih terarah pembahasannya, maka rumusan masalah yang dapat dipaparkan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses pengajian wethon di pondok Induk ini? 
2. Metode yang digunakan dalam pengajian wethon tersebut?
3. Bagaimana keberadaan pengajian wethon di pondok Induk ini?


C. TUJUAN PENELITIAN    

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian yang dimaksud adalah:

1. Untuk mengetahui proses pengajian wethon di Pondok Induk Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.
2. Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam pengajian wethon di Pondok Induk Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.
3. Untuk mengetahui histori keberadaan pengajian wethon di Pondok Induk Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.


D. KEGUNAAN PENELITIAN

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan khazanah keilmuan serta sebagai bahan referensi atau rujukan dan tambahan pustaka pada Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, guna sebagai referensi tambahan mengenai budaya pengajian wethon di Pondok Pesantren Induk Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.


E. METODE PENELITIAN

Metode di sini diartikan sebagai suatu cara atau teknis dilakukan dalam proses penelitian. Adapun penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran[1]. Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan dua metode dalam pengumpulan data-data, yaitu metode observasi dan metode wawancara (interview). Kedua metode ini dipilih sebagai alternatif dalam meneliti budaya wethon yang ada di Pondok Pesantren Bahrul Ulum (Induk) Tambakberas Jombang.

Dalam prakteknya, penulis melakukan pengamatan selama kurang lebih tiga minggu secara langsung tanpa melakukan wawancara. Setelah itu dilakukan wawancara dengan beberapa informan yang telah dipilih dan diyakini mengetahui seluk-beluk objek penelitian. Selama kegiatan tersebut, penulis juga  melakukan pengumpulan data-data yang diperlukan dengan merujuk pada data di kantor kesekretariatan Pondok Pesantren Bahrul Ulum (Induk) Tambakberas Jombang.

Dengan metode ini, diharapkan tercapainya tujuan dari penelitian ini dan memberikan hasil data yang valid dan dapat dipercaya.


F. PENELITIAN TERDAHULU

Berdasarkan penelusuran penulis, belum ada penelitian skripsi yang membahas tentang objek penelitian kali ini. Berikut beberapa penelitian yang berkaitan dengan tema yang penulis bahas:

1. Tesis Umi Kultsum (1992) fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, yang berjudul “Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang: Studi Tentang Sejarah dan Aktivitasnya”. Peneliti membahas tentang latar belakang berdirinya Pondok Pesantren Bahrul Ulum, bagaimana aktivitas yang dilaksanakan oleh para santri di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, dan bagaimana hubungan Pondok Pesantren dengan masyarakat.

2. Tesis Nikhlah Istighfarin (2013) fakultas Tarbiyah dan Keguruan PAI UIN Sunan Ampel Surabaya, yang berjudul “Efektivitas Takzir Terhadap Kedisiplinan Belajar Agama: Studi Kasus di Asrama Muhajirin Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang". Tesis ini membahas tentang bagaimana penerapan pemberian takzir dan efektivitas takzir terhadap kedisiplinan belajar agama di asrama Muhajirin Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.


G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memberikan gambaran yang jelas dalam penulisan makalah ini, penulis menyusun makalah penelitian ini menjadi lima bab, antara bab satu dengan bab yang lainnya saling berkaitan, sehingga penulisan makalah ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di bawah ini, diuraikan tentang sistematika pembahasan dalam  makalah ini.

Bab I: Pendahuluan. Pada bab pendahuluan ini, dipaparkan mengenai latar belakang yang kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penelitian terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab II: Kajian Teori. Pada bab ini, akan diuraikan mengenai definisi variabel, deskripsi rumusan masalah, serta kerangka berpikir, yang datanya diambil atau dikutip dari berbagai referensi seperti buku bacaan, kamus, dan sebagainya.

Bab IV: Hasil Diskusi. Membahas hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya dan mendiskusikannya dengan diri sendiri, informan atau narasumber, atau buku-buku referensi.

Bab V: Penutup. Terdiri atas jawaban dari pertanyaan pada bab-bab sebelumnya yang disesuaikan dengan rumusan masalah dan dilengkapi dengan kesimpulan umum serta saran.

Bab III: Kerangka Etnografi. Pada bab ini, akan diterangkan lebih lanjut mengenai nama objek penelitian, ciri geografis, demografi, sejarah atau asal usulnya, sistem bahasa, sistem religi, dan sistem pengetahuan.







BAB II
KAJIAN TEORI


A. PESANTREN

Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakikatnya mengandung pengertian yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji, dan sebagainya. Kata "pesantren" seringkali ditambahi dengan kata "pondok" di depannya yang dalam arti kata Bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan menekankan kesedehanaan bangunan[2]. Pesantren—atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren—dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji. Biasanya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya[3].

Secara esensial, pesantren merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional yang para muridnya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai. Asrama untuk para murid tersebut berada dalam komplek pesantren dengan kiai bertempat tinggal dalam lingkungan pesantren tersebut. Di samping itu, juga terdapat terdapat fasilitas ibadah berupa masjid di dalamnya. Meskipun bentuk pesantren pada awalnya masih sangat sederhana, tetapi pada saat itu pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur[4]. Adapun unsur-unsur dasar yang terdapat dalam pondok pesantren adalah kiai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning[5]. 


B. SANTRI

Sebenarnya, tidak ada penjelasan yang kuat mengenai makna kata “santri”. Dalam artian, kata “santri” sendiri mempunyai berbagai macam arti. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, santri berarti (1) orang yang mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; (3) orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren dan sebagainya[6]. Adapun menurut C. C. Berg, kata santri sendiri berasal dari bahasa India, shastri, yaitu orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Sementara itu, A. H. John menyebutkan bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji[7]. 

Nurcholish Madjid memiliki pandangan berbeda dalam menggali asal usul kata “santri”. Dalam pandangannya, asal usul kata “santri” dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari kata “shastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf. Pendapat ini menurut Nurcholish Madjid didasarkan atas kaum santri kelas literasi bagi orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik” berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap[8].

Santri adalah para siswa yang mendalami ilmu-ilmu agama di pesantren baik dia tinggal di pondok maupun pulang setelah selesai waktu belajar. Zamakhsyari Dhofir membagi menjadi dua kelompok sesuai dengan tradisi pesantren yang diamatinya, yaitu:

1. Santri mukim, yakni para santri yang menetap di pondok, biasanya diberikan tanggung jawab mengurusi kepentingan pondok pesantren. Bertambah lama tinggal di pondok, statusnya akan bertambah, yang biasanya diberi tugas oleh kyai untuk mengajarkan kitab-kitab dasar kepada santri-santri yang lebih junior. 

2. Santri kalong, yakni santri yang selalu pulang setelah selesai belajar atau saat malam ia berada di pondok dan saat siang pulang ke rumah[9].

Di pondok Induk ini, semua santrinya termasuk santri mukim. Karena hampir seluruh santrinya bertempat tinggal jauh dari wilayah atau daerah pondok mereka. Di pondok, para santri digembleng untuk mendalami khususnya ilmu agama yang menjadi keharusan bagi setiap orang muslim untuk membenarkan dan menguatkan keimanannya. Salah satu kegiatan yang menunjang hal tersebut yang ada di pondok Induk yaitu pengajian kitab-kitab klasik atau dikenal dengan kitab kuning.

Di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, model pengajian kitab kuning “Utawi-Iku” menjadi suatu budaya yang melekat. Ada dua model yang diterapkan atau yang menjadi alternatif dalam mengkaji kitab kuning, yaitu model sorogan dan model wethon. Dalam model sorogan, masing-masing santri membacakan kitab tanpa harakat (baca: kitab gundul) di hadapan kiai atau ustaz dengan menjabarkan gramatika, mengupas kandungan-kandungan teks kitab yang dibaca, memformulasikan pasal-pasal yang dibaca dengan bentuk yang konkret[10]. Adapun kiai atau ustaznya bertugas membetulkan manakala bacaan atau keterangannya keliru. Berbeda dengan model wethon, dalam penerapannya, seorang kiai atau ustaz bertugas memberikan pelajaran kitab di depan para santri sesuai fan ilmunya[11].


C. PENGURUS

Pengurus merupakan salah satu unsur—meski bukan unsur dasar—dalam lingkup pondok pesantren. M    emang adanya pengurus tidaklah menjadi suatu keharusan karena ada beberapa pondok pesantren yang tidak mengandung unsur tersebut. Namun, di Pondok Pesantren Bahrul Ulum (Induk), unsur ini ada dan sudah berlangsung sejak awal didirikannya hingga kini.

Pengurus adalah sekelompok orang yang diberi amanat untuk mengurus, mengelola, mendidik, dan membimbing seorang santri yang ada dalam pondok pesantren dan juga mengatur manajemen pondok pesantren. Pengurus di pondok pesantren umumnya dipilih dari unsur-unsur pondok yang dalam hal ini mencakup guru, pembina, dan santri.

Di Pondok Induk, pengurus adalah santri yang dipilih oleh pengasuh pondok untuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan[12]. Di atas pengurus, ada yang namanya pembina dan pengasuh yang dipegang oleh kiai, guru, atau alumni yang mengabdi untuk pondok. Pengurus diberi hak dan wewenang dalam mendidik dan membimbing para santri di pondok dengan arahan dari pengasuh dan pembina pondok.

Beberapa pengurus yang memiliki kemampuan khusus dipilih untuk turut membantu dalam mendidik dan membina santri, salah satunya dalam bidang pengajian. Di sisi lain, pengurus juga ikut serta dalam mengikuti pengajian karena pengurus juga dari kalangan santri dan memiliki kewajiban mengikuti peraturan pondok seperti mengaji kitab. Namun, ada sisi keistimewaan antara pengurus dengan santri biasa. Pengurus diberi kebebasan dalam mengikuti pengajian, tidak harus di dalam lingkup Pondok Induk saja. Berbeda dengan santri biasa, yang hanya dibolehkan ikut pengajian dalam lingkup Pondok Induk sesuai dengan yang telah diatur oleh pengurus.


D. PENGAJIAN WETHON

Pengajian wethon merupakan model pengajian di samping model sorogan yang ada di Pondok Induk ini. Disebut dengan “wethon” karena pengajiannya atas inisiatif kiai, menentukan kitab, tempat, waktunya. Disebut juga dengan “bandongan” karena pengajian diberikan secara berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri (Wahjoetomo, 1997: 83).

Proses pengajian wethon di Pondok Induk saat ini telah diatur dan ditata sedemikian rupa sehingga pengajian wethon ini dapat berjalan efektif dan efisien. Pengajian wethon di Pondok Induk diklasikalkan atau dikelompokkan berdasarkan tingkatan umur dan kemampuannya. Hal ini agar pengajian wethon bisa berjalan seimbang, efektif, serta efisien hingga mengena pada tiap-tiap santri[13]. 

Proses Pengajian Wethon Di Pondok Induk

Pengajian wethon di Pondok Induk—yang telah disusun oleh pengurus—dilaksanakan pada tiga waktu: bakda subuh, bakda zuhur, dan bakda asar. Pengajian wethon bakda subuh dilaksanakan tepatnya setelah kegiatan rutinan membaca surah Al-Waqiah dan Yasin bersama di jerambah masjid. Sekembalinya para santri dari masjid, mereka membawa kitabnya masing-masing dan langsung menuju ke tempat mengajinya masing-masing sesuai ketentuan[14].


KEGIATAN RUTIN HARIAN PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM[15]

NO

WAKTU

JENIS KEGIATAN

KETERANGAN

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

04:00 – 05:00

05:00 – 05:30

05:30 – 06:00

 

06:05 – 06:30

06:30 – 12:05

12:05 – 12:30

13:30 – 15:00

15:00 – 15:30

15:30 – 17:00

 

17:00 – 17:30

17:45 – 18:15

18:45 – 19:00

19:00 – 19:30

19:45 – 21:00

 

21:00 – 22:00

22:00 – 04:00

Sholat jama’ah Subuh

Pembacaan Yasin Dan Waqiah

Pengajian Al-Qur’an

Pengajian kitab (wethon)

Persiapan sekolah

Sekolah

Jama’ah sholat Dhuhur

Pengajian kitab (wethon)

Jama’ah sholat Ashar

Madrasah Diniyah Al Quran

Pengajian kitab (wethon)

Bebas

Jama’ah sholat Maghrib

Madrasah Diniyah Al Qur’an

Jama’ah sholat  Isya’

Madrasah Diniyah Al Qur’an

Bahsul Kutub

Takrorudurus

Istirahat

Semua Santri

Semua Santri

Santri Baru

Santri Senior

Semua Santri

Semua Santri

Semua Santri

Umum

Semua Santri

Tingkat SLTP Dan SLTA

Santri Senior

Semua Santri

Semua Santri

Tingkat SLTP Dan SLTA

Semua Santri

Tingkat SLTP Dan SLTA

Santri Senior

Semua Santri

Semua Santri


Untuk santri baru atau santri yang belum bisa memaknai kitab, setelah subuh mereka tidak mengikuti pengajian wethon sebagaimana biasanya. Namun, mereka mengikuti bimbingan baca Al-Qur'an yang dibimbing oleh pengurus yang dipilih untuk membimbing. Adapun bagi santri lama atau santri yang sudah mampu memaknai kitab, mengikuti pengajian wethon sesuai umur dan kemampuannya.

Mulai tahun 2017 lalu, pengajian wethon di Pondok Induk ini diklasikalkan sesuai dengan jenjang pendidikan santri. Untuk santri senior, pengajian wethon langsung diampu oleh kiai karena dianggap sudah mumpuni dalam memaknai kitab dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang kitab. Adapun untuk santri junior, pengajian wethon akan diampu oleh pengurus atau santri senior yang mempunyai kemampuan khusus dan dipilih untuk membantu kiai.


PENGAJIAN WETHON AL-QUR’AN PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM

 

Nama Tutor

Waktu

Tempat

Kelas 1A

Ustadz Adit Fathul Anam

Ba’da Shubuh

Perpustakaan

Kelas 1B

Ustadz Abdullah Farikh H.

Kelas 1C

Ustadz A. Hamdan Zainul H.

Kelas 1D

Ustadz Fuad Habib

Lorong Lobby

Kelas 1E

Ustadz M. Syafi’i

Kelas 1F

Ustadz M. Sholahuddin


PEMBAGIAN PENGAJIAN WETHON PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM

الأمكنة

الأوقات

اسماء الكتب

الفصل

القراء

بيت القارئ

بعد الصبح

الاذكار النواوى

4,5,&6 MMA

2 aliyah (lama)

3 Aliyah

الشيخ عبد الناصرعبد الفتاح الحاجّ

مسجد جامع

بعد الصبح

الاشباه و النظائر

3 tsanawiyah

1 aliyah (lama)

الشيخ عبد الرزاق صالح الحاجّ

مسجد جامع

بعد العصر

تفسير المنير جز 2

Pasca Diniyah

الشيخ سلمان الفارسي الحاجّ

Pangeran diponegoro

بعد الصبح

فتح القريب

2&3 MMP

الاستاذ عبد العظيم

Sunan Giri

بعد الصبح

مبادئ فقه جز 2

1 Aliyah (Baru)

الأستاذ نور رفيق أدي فراستيا

سفينة النجاة

تيسير الخلاق

اخلاق للبنين

Sunan Muria

بعد الصبح

عقيدة العوام

2 Aliyah (Baru)

الاستاذ محمد انيس عبدالله

جواهر الكلامية

اربعين نواوي

لباب الحديث

Sunan Gunung Jati

بعد الصبح

مبادئ فقه جز 2

1 Tsanawiyah & 1A MMA

الاستاذ صفي الفجر محمد

سفينة النجاة

تيسير الخلاق

اخلاق للبنين

Sunan Ampel

بعد الصبح

عقيدة العوام

2 Tsanawiyah & 1B MMA

الاستاذ محمد الف زيني

جواهر الكلامية

اربعين نواوي

لباب الحديث


Selain bakda subuh, pengajian wethon juga ada di siang hari. Tepatnya bakda zuhur setelah para santri pulang sekolah. Namun, untuk pengajian wethon siang hari, di Pondok Induk tidak diwajibkan atau diharuskan mengikutinya. Jadi para santri diberi kebebasan dalam mengikuti dan memilih pengajian wethon.

Dalam lingkup Pondok Pesantren Bahrul Ulum, ada banyak sekali pengajian yang diadakan oleh para kiai dan masyayikh Pondok Pesantren Bahrul Ulum. Mulai dari pagi hari bakda subuh, siang hari bakda zuhur, sampai malam hari bakda isya. Selain pembagian pengajian wethon yang telah disusun oleh pengurus, santri Pondok Induk diperbolehkan mengikuti pengajian di lain waktu dan diberi kebebasan selama tidak menggangu atau berbenturan dengan kegiatan pondok.

Untuk pengajian wethon di sore hari, hanya dikhususkan untuk santri senior atau pasca diniyah. Sebab di sore hari dimulainya Madrasah Diniyyah al-Quran (MDQ) hingga malam hari. Santri yang pasca-diniyah diharuskan mengikuti pengajian wethon sesuai jadwal, kecuali yang ditugasi untuk mengajar di Madrasah Diniyyah al-Quran. Ada pula pengajian wethon yang dilaksanakan di malam hari. Ketentuannya sama seperti pengajian di  siang hari, santri dibebaskan mengikuti pengajian apapun selama masih di lingkup Pondok Pesantren Bahrul Ulum, dan tidak diwajibkan bagi semua santri namun ditekankan bagi santri senior atau pasca diniyyah saja.

Semua kegiatan pengajian wethon yang telah disusun oleh pengurus wajib diikuti oleh para santri. Nantinya, setiap akhir bulan akan diadakan taftisy kitab untuk mengecek apakah santri benar-benar mengikuti kegiatan dengan baik atau tidak. Jika nanti santri tidak lulus dalam pen-taftisy-an kitab, maka akan ada konsekuensi dari pengurus yang berwenang agar para santri benar-benar mengikuti kegiatan tersebut dengan baik.


Metode dan Tujuan Pengajian Wethon Di Pondok Induk

Di Pondok Induk ini, pengajian wethon dilaksanakan secara satu arah. Artinya, tidak ada timbal balik dari santri sendiri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam penerapan pengajian wethon, seorang kiai atau ustaz bertugas memberikan pelajaran kitab di depan para santri sesuai fan ilmunya. Jadi yang berperan penuh hanyalah kiai atau ustadnya saja, tanpa ada timbal balik dari santri sendiri. Mengingat tujuan dari adanya pengajian wethon ini adalah untuk menambah wawasan pengetahuan tentang kitab dan mendalaminya, tanpa menguasai kitab itu sendiri. Lain halnya dengan sorogan yang bertujuan mengasah kemampuan santri dalam membaca kitab serta memahaminya.

Oleh karena itu, baik penggunaan model sorogan ataupun wethon, mana yang lebih efisien dan lebih mengena pada santri dilihat dari tujuan masing-masing model pengajian tersebut. Kalau memang hanya ingin menambah wawasan pengetahuan santri saja, maka digunakan model pengajian wethon, dan jika ingin mengasah kemampuan santri, maka digunakan model pengajian sorogan[16].






BAB III
KERANGKA ETNOGRAFI


A. Nama, Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografis

Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang terletak di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Dengan letak geografis -7°15 LS dan 112°24 BT, tepatnya ±3 km sebelah utara Kota Jombang. Menempati areal tanah seluas ±10 ha, dengan sosiokultural religius agraris. Wilayah Jombang termasuk dalam golongan iklim tropis karena berada di garis khatulistiwa, dengan kondisi tanahnya yang ada di dataran rendah. Oleh karena itu, di sekitar Pondok Pesantren Bahrul Ulum terdapat lahan persawahan yang luas dan banyak. Lokasi Pondok Pesantren Bahrul Ulum ini sangat strategis, terletak tepat pada titik persimpangan jalur perlintasan di Provinsi Jawa Timur, yaitu jalur Tuban-Kediri (jalur utara-selatan) dan jalur Madiun-Surabaya-Malang (jalur timur-barat).

Pondok Induk sendiri termasuk dalam bagian dari Pondok Pesantren Bahrul Ulum. Pondok Induk merupakan cikal bakal adanya pondok di sekitarnya yang masih satu naungan Pondok Pesantren Bahrul Ulum. 

Wilayah Tambakberas yang menjadi lokasi pondok Induk sekarang, masih tergolong pedesaan, meskipun mulai banyak pendatang baik dari kota ataupun desa lain yang bermukim dan menyatu dengan warga asli. Lebih-lebih dengan adanya pondok-pondok di sekitarnya dan santri-santrinya yang berasal dari berbagai daerah menambah keberagaman yang ada di Tambakberas.

Saat ini, jumlah santri pondok Induk cukup banyak. Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kesekretariatan pondok, jumlah santri (hasil sensus bulan Agustus 2018) mencapai 605 santri yang kesemuanya santri laki-laki.

Santri pondok Induk tidak hanya berasal dari wilayah Jombang saja, tetapi juga dari berbagai daerah di Indonesia. Menurut Sekar, salah satu pengurus kesekretariatan di pondok Induk, rata-rata santri yang ada di pondok Induk ini berasal dari daerah Lamongan[17]. Sebagian ada yang berasal dari luar Jawa Timur dan beberapa ada yang dari luar pulau Jawa. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa di pondok Induk ini sangat beragam santrinya, yang keberagaman ini tentu memengaruhi proses pendidikan dan pengajaran di lingkup pondok Induk, khususnya dalam pelaksanaan pengajian kitab wethon.


B. Asal Mula dan Sejarah

Pondok Induk—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya—merupakan cikal bakal dari Pondok Pesantren Bahrul Ulum secara keseluruhan. Pondok Induk merupakan pondok pengembangan dari pondok pesantren yang didirikan oleh Kiai Abdussalam yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Pondok Selawe atau Telu. Disebut begitu dikarenakan jumlah santrinya yang berjumlah 25 orang dan jumlah bangunan yang hanya ada 3 lokal beserta musalanya. Hal ini terjadi sekitar tahun 1838 M. 

Kiai Abdussalam merupakan seorang alim, pendekar ulama atau ulama pendekar (dikenal dengan panggilan Mbah Shoichah) yang datang ke dusun Tambakberas dengan membawa misi menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya. Menurut silsilah, beliau termasuk keturunan Raja Brawijaya (Kerajaan Majapahit). Nama lengkapnya ialah Abdussalam bin Abdul Jabbar bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdurrohman (Jaka Tingkir).

Setelah Kiai Shoichah (begitu beliau dikenal) berusia lanjut, tampuk kepemimpinan Pondok Selawe atau Pondok Telu diserahkan kepada dua menantunya yang tidak lain adalah santrinya sendiri, yaitu Kiai Utsman dan Kiai Said. Pada pengembangannya, Kiai Utsman terlebih dahulu meminta izin kepada mertuanya untuk mengembangkan pondoknya di Desa Gedang Timur (sebelah timur sungai Tambakberas). Setelah direstui oleh mertuanya, kemudian beliau mulai membimbing santrinya dengan penekanan pada masalah Thoriqot/Tasawuf, sehingga pondok beliau dikenal dengan Pondok Thoriqot. 

Setelah Kiai Utsman wafat, Pondok Thoriqot tidak ada yang meneruskan karena Kiai Utsman tidak mempunyai anak laki-laki. Akhirnya menantunya Kiai Utsman, Kiai Asyari (ayah dari Hadhratus Syekh KH. M. Hasyim Asyari), membawa sebagian santrinya ke Desa Keras yang nantinya menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Tebuireng. Sebagian yang lain dipindah ke Pondok Syariat yang diasuh oleh Kiai Hasbulloh (putra kedua Kiai Said).

Adapun Kiai Said mengembangkan pondoknya (dengan izin Kiai Shoichah pula) di Desa Gedang Barat (sebelah barat sungai Tambakberas) dengan penekanannya pada kajian-kajian syariat. Sebab itulah pondoknya Kiai Said yang berada di sebelah barat sungai Tambakberas ini dikenal dengan sebutan Pondok Syariat. Pondok pesantren Kiai Said inilah yang menjadi cikal bakal dari Pondok Pesantren Bahrul Ulum atau yang sekarang dikenal dengan Pondok Induk.

Pondok Syariat setelah Kiai Said wafat, diteruskan oleh putra keduanya yakni Kiai Hasbulloh. Singkatnya, setelah diasuh oleh Kiai Hasbulloh, Pondok Syariat mulai berkembang pesat hingga kini. Dan pada masa Kiai Fattah, mulai dibangun pondok pesantren putri bernama Pondok Pesantren Al-Fathimiyyah yang terlelak di sebelah selatan Pondok Induk. Sebelumnya sudah ada pondok putri pertama yang telah dibangun sebelum masa Kiai Fattah, yakni Pondok Al-Lathifiyyah.

Sejak itu, pondok di Bahrul Ulum ini mulai bercabang dan menyebar di wilayah Tambakberas. Akhirnya semua pondok cabang ini berada dalam satu naungan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas. Namun, dalam kenyataannya, Pondok Pesantren Bahrul Ulum lebih identik dengan Pondok Induk. Jadi, ketika dikatakan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, maka pikiran akan tertuju pada Pondok Induk, karena Pondok Induklah sumber awal dari pondok-pondok cabang di sekitarnya.

Akan tetapi, meskipun Pondok Pesantren Bahrul Ulum ini bercabang-cabang, semua pondoknya tetap hidup rukun. Begitu pula dengan kiainya, tidak ada perselisihan atau hal-hal yang tidak diinginkan. Semua pondok di Bahrul Ulum masing-masing diasuh oleh  kiai yang masih satu dzurriyyah atau keturunan dari Kiai Hasbulloh yang merupakan putra dari Kiai Said, menantu dari Kiai Abdussalam (Mbah Shoichah) yang menjadi pendiri sekaligus perintis Pondok Pesantren Bahrul Ulum ini.




C. Sistem Bahasa

Karena para santrinya datang dari berbagai daerah, maka bahasa yang mereka gunakan pun ikut terbawa dan menyatu di Pondok Induk ini. Logat bahasa yang digunakan oleh santri Pasuruan yang agak ke-Madura-an sedikit berbeda dengan logat bahasa yang digunakan oleh santri Surabaya yang agak kasar dan keras. Begitu juga halnya dalam penggunaan kosakata dan dalam konteks pembicaraan sehari-hari. Namun, karena mereka mondok di Pondok Induk yang berada di wilayah Jombang, bahasa njombang pun menjadi bahasa sehari-hari mereka. Logat mereka pun bercampur antara daerah mereka dengan Jombang.

Contohnya seperti pemakaian kata awakmu yang berarti “kamu” merupakan bahasa asli Jombang. Rata-rata santri menggunakan kata awakmu sebagai panggilan kepada temannya. Namun, tak jarang, karena sebagai teman dekat, penggunaan kosakata kon menjadi pengganti dari kata awakmu. Kata ini dibawa oleh santri yang tinggal di daerah kota seperti Surabaya dan Malang, yang memiliki kehidupan yang keras dan agak kasar.

Pengajian wethon (dalam hubungannya dengan sistem bahasa) juga memengaruhi sistem bahasa di Pondok Induk ini. Dalam me-maknani kitab kuning, kiai atau ustad beberapa kali mengucapkan bahasa Jawa yang asing didengar oleh santri pada umumnya. Semakin sering santri mendengar maknaan kiai atau ustad, akhirnya mereka tahu dan hafal di luar kepala. Sehingga ada beberapa santri yang menggunakan kosakata tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 

Dari hal tersebut, dapat dipahami bahwa keberagaman bahasa di Pondok Induk Bahrul Ulum ini memengaruhi ucapan para santri, baik dari sisi kelakuannya maupun kesopanannya.







BAB IV
HASIL DISKUSI


Pengajian wethon menjadi salah satu kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh santri di Pondok Induk, tak terkecuali pengurus. Dengan pengajian wethon ini, diharapkan para santri dapat bertambah wawasan pengetahuan mereka tentang kitab kuning. Sistem pengajian wethon dinilai sebagai sistem yang cukup bagus untuk menambah wawasan pengetahuan tentang kitab. Di lain sisi, sistem pengajian sorogan pun dianggap sebagai sistem yang lebih efektif untuk mengasah dan meningkatkan kemampuan diri para santri dalam memahami kitab kuning.

Menurut Ketua Pondok Induk, Ustad Abdul Adhim, dari kedua sistem pengajian di atas yang paling efektif dilihat dari tujuannya. Kalau tujuannya ingin mengasah kemampuan santri dalam memahami kitab kuning, sorogan adalah sistem yang tepat untuk digunakan. Namun, jika tujuannya ingin menambah wawasan pengetahuan santri tentang kitab kuning, wethon pun menjadi pilihan.

Penulis secara pribadi sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Ustad Abdul Adhim. Memang kedua-duanya dapat dijadikan pilihan dalam proses mengkaji kitab kuning. Namun, penulis sedikit menambahkan bahwa apapun sistem yang digunakan perlu memandang dua hal berikut:

1. kesediaan tenaga pengajar yang memberi pengajian kitab, dan

2. kesesuaian dengan kemampuan santri.

Dengan keadaan santri yang jumlahnya ratusan, akan memberi pilihan agar mengambil beberapa pengurus atau santri senior yang memiliki kemampuan khusus, untuk membantu kiai dalam keberlangsungan proses pengajian kitab kuning. Jika terjadi kekurangan, maka segera dicari tenaga pengajar yang memiliki kemampuan yang mumpuni sehingga kegiatan pengajian kitab terus berjalan tanpa halangan apapun. Selain itu, diperlukan adanya penyesuaian dengan kemampuan masing-masing santri, dalam arti perlu adanya pengelompokkan dalam pengajian kitab. Sebab setiap santri memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Tidak mungkin kita meletakkan santri yang masih tingkat menengah untuk mengaji kitab yang jauh lebih sulit dan tidak sesuai jenjangnya. Itu akan membuat santri merasa bosan, membebani santri itu sendiri, dan akan sia-sia ilmunya karena tidak dipraktekkan.

Jika diperhatikan, dalam pengajian wethon, yang berperan aktif hanyalah pembacanya (dalam hal ini kiai atau ustad) saja, sedangkan santri hanya berperan pasif atau dengan kata lain menggunakan metode ceramah. Jadi santri hanya mendengarkan penjelasan dari kiai atau ustad dan sesekali me-maknani kitab. Metode seperti ini jika ditelaah lebih lanjut akan terasa kurang begitu menarik karena santri zaman sekarang dengan santri zaman dahulu itu berbeda. Santri zaman sekarang gampang merasa bosan, tidak fokus, dan senang memikirkan hal lain yang lebih disenangi saat berlangsungnya pengajian. Tidak jarang santri hanya mengikuti pengajian saja tanpa memahami dan lebih-lebih menerapkan apa yang didapatkannya. Ini sangat disayangkan karena tidak tercapainya tujuan pengajian wethon itu sendiri. Dari sisi santri itu sendiri juga merasa dirugikan, karena tidak adanya pengembangan dalam metode pengajian wethon.

Oleh karena itu, perlu adanya rasa saling menyadari posisi masing-masing. Dari sisi yang memberi pengajian, perlu adanya inovasi dan pengembangan dalam pengajian wethon sehingga para santri dapat antusias serta meningkatan minat para santri dalam mengikuti pengajian wethon tersebut. Dan dari sisi santri itu sendiri, harus sadar bahwa merekalah yang membutuhkan ilmu. Maka dari itu, mereka harus betul-betul mengikuti pengajian wethon tersebut dengan optimal, tidak usah menunggu di-obrak-i oleh pengurus pondok.






BAB V
PENUTUP


Pengajian wethon di Pondok Induk sudah lama ada sejak awal didirikannya. Tidak jauh berbeda dengan zaman dahulu, para santri menulis maknaan kiai atau ustad ke dalam kitabnya dan menyimak keterangan atau penjelasan yang disampaikan. Hanya letak perbedaannya pada proses, metode, dan keberlangsungan pengajian wethon tersebut. Akhirnya, dari data yang dikumpulkan oleh penulis dan berdasarkan analisis data yang diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan dengan klasifikasi sebagai berikut.

1) Jawaban dari rumusan masalah yang dibuat, yakni:

1. Proses pengajian wethon di Pondok Induk berlangsung sebagaimana jadwal yang telah ditetapkan oleh pengurus pondok.

2. Metode yang digunakan dalam pengajian wethon di Pondok Induk ialah dengan metode ceramah atau one way (santri pasif, tutor aktif).

3. Tidak diketahui kapan pertama kali pengajian wethon diadakan di Pondok Induk. Namun, yang jelas keberadaan pengajian wethon di Pondok Induk sampai sekarang masih tetap eksis dan terus berlangsung hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.

2) Kesimpulan Umum 

Pengajian wethon adalah sistem pengajian yang melibatkan dua orang (santri dan kiai atau ustad) dimana santri bertugas memaknai kitab sementara kiai atau ustad membacakan makna serta menerangkan yang telah dibacakan. Metode yang digunakan dalam pengajian wethon ialah metode ceramah (one way), yaitu santri berperan pasif sedangkan kiainya berperan aktif. Santri hanya mendengarkan keterangan yang disampaikan oleh kiai dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sistem ini bertujuan untuk menambah wawasan pengetahuan santri tentang kitab yang mereka kaji dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam penerapannya, sistem wethon ini kurang begitu efektif dikarenakan beberapa faktor, diantaranya kesediaan tenaga pengajar yang terbatas—pengurus senior yang membantu kiai—dan kurangnya minat santri dalam mengikuti pengajian wethon. Selain itu, tujuan daripada pengajian wethon ini—yakni menambah wawasan pengetahuan santri dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari—belum mampu tercapai. Masih banyak santri yang belum mengamalkan apa yang mereka dapat dari pengajian wethon.

Oleh karenanya, sistem pengajian wethon di Pondok Induk ini masih perlu diperbaiki kembali agar dapat berjalan efektif serta tercapainya tujuan dari pengajian wethon itu sendiri.

Sebagai penutup makalah ini, penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah Swt. karena dengan curahan rahmat dan karunia-Nyalah makalah ini rampung pada waktunya. Tak lupa ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada narasumber yang meluangkan waktunya sejenak untuk diwawancarai, teman penulis yang dengan berbaik hati meminjamkan laptopnya untuk proses pengetikan makalah ini, serta kepada seluruh pengurus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang yang membantu kelancaran proses pengumpulan data-data ini.







Catatan Kaki

[1] Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1995), hlm. 24

[2] S. Subki (2013), Tesis berjudul “Integrasi Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren Tradisional” (Studi Kasus Pondok Pesantren al-Anwar Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang), hlm. 23

[3] Ibid.

[4] M. Sulthon Masyhudi, Manajemen Pondok Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), hlm. 1

[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 44

[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring.

[7] Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat: Reiventing Eksistensi Pesantrendi Era Globalisasi (Surabaya: Imtiyaz, 2011 ), hlm. 9

[8] Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 61

[9] Harun Nasution et. al, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Depag. RI, 1993), hlm. 1036.

[10] Dikutip dari Buku Panduan Pondok Pesantren Bahrul Ulum (hlm. 14)

[11] Ibid.

[12] Ibid., hlm. 29

[13] Wawancara dengan Ustaz Anis Abdillah, ketua pengurus bagian pendidikan, pada tanggal 25 September 2018.

[14] Pengamatan penulis secara langsung.

[15] Data tiga tabel diambil dari kantor kesekretariatan Pondok Induk.

[16] Wawancara dengan Ustaz Abdul Adhim, Ketua Pondok Induk, pada tanggal 28 September 2018 pukul 13.00 WIB.

[17] Wawancara dengan Sekar Wijaya Kusuma, anggota pengurus bagian kesekretariatan.


Daftar Rujukan

Sekadar info, rujukan yang dipakai dalam penelitian ini tidak ada atau hilang. Saat itu, flashdisk saya sempat hilang dan untungnya ada salinannya di flashdisk lain. Namun, sayangnya daftar rujukannya tidak disalin setelah selesai dikerjakan, jadi ikut hilang bersama dengan flashdisk-nya. Semoga bisa dimaklumi 🙂.

Komentar